Jumat, 11 Mei 2012

Refleksi Wikileaks: Hacktivism dan Politik Global

Refleksi Wikileaks:
Hacktivism dan Politik Global
Oleh: Nofia Fitri

Sang hacker-jurnalis Rick Cook dalam novel populernya Wizardry Compiled mengungkapkan “it is never the technical stuff that gets you in trouble. It is the personalities and the politics.”Dari sepenggal kalimat tersebut dapat ditangkap sekilas ‘pesan’ terkait kontroversi wikileaks, organisasi whistleblower yang menghebohkan dunia setelah diterbitkannya ribuan kawat diplomasi AS serta kasus dugaan penyelewengen seksual Julian Assange sang pendiri situs pembocor dokumen rahasia-rahasia negara tersebut. Bahwa fenomena wikileaks bukan semata aksi mengabaikan hukum dengan melegalkan aktivitas hacking komputer untuk membocorkan dokumen-dokumen rahasia negara yang mempublikasikannya dianggap tidak bertanggung jawab, melainkan lebih kepada persoalan ‘convictions’ tentang politik dunia hari ini serta wawasan dan pandangan dari para aktivis cyber. Jauh sebelum para aktivis cyber tersebut memandang politik hari ini dimana pola-pola kepemimpinan otoritarian membatasi kebebasan individu, mengakarnya politik konspirasi, menghegemoninya kepentingan kapitalis serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh penguasa, Jean-Jacques Rousseau sudah terlebih dahulu menegaskan “politics is neither religion nor morality.”

Electronic Civil Disobedience

Fenomena wikileaks dimana kemajuan teknologi melalui dunia cyber digunakan untuk tujuan-tujuan politik sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Tahun 1998 digegerkan dengan kasus ‘JE’ seorang hacker muda Inggris yang berhasil mengakses sekitar 300 website di dunia termasuk India's Bhabba Atomic Research Centre, dengan menyusupkan pesan anti-nuklir. Komunitas cyber pro-demokrasi yang menamakan dirinya Hong Kong Blondes menyusupkan pesan tentang HAM dan pengungkapan kasus Tiananmen melalui website pemerintah China sementara aksi cyber mendukung gerakan Zapatista dimotori oleh komunitas yang menamakan dirinya the Electronic Disturbance Theater (EDT) berawal di 1994 berujung dengan diaksesnya situs pribadi presiden Meksiko, selain menciptakan software floodnet untuk mengundang partisipasi massa. Yang juga menarik misalnya concern komunitas hackers British the Electrohippies terhadap isu-isu globalisasi yang secara terang-terangan menolak World Trade Organization (WTO), hingga pesan-pesan kolompok ‘political crackers’ World's Fantabulous Defacers dalam memperjuangkan Palestina dan Kasmir. Tak ketinggalan komunitas hackers Portugal Urban KaOs dalam hal pembelaan mereka atas kemerdekaan Timor-timur yang berhasil menyusupi website pemerintah Indonesia ditahun 1990-an. Kelompok-kelompok tersebut dianggap terinspirasi kuat oleh eksistensi sebuah komunitas hackers berbasis di Texas the Cult of the Died Cow (cDc) pencipta Goolag, dan menjadi kelompok hackers pertama yang mempelopori istilah Electronic Civil Disobedience (ECD). Sementara sungguh masih hangat diperdebatkan bagaimana komunitas pendukung wikileaks Anonymous-Anonops melancarkan aksi pembalasan dendam (payback) terhadap VISA, Mastercard dan Paypal demi memperjuangkan ‘kebebasan’ dalam dunia cyber. Kasus-kasus hacking terbesar ini bagi sebagian pihak dianggap sebagai sebuah pergerakan berarti atau ‘revolusi teknologi’ dalam hal kepedulian aktivis cyber terhadap konstalasi politik global, karenanya semakin mempopulerkan istilah hacktivism.

Istilah hacktivism mungkin tidak terlalu akrab ditelinga masyarakat umum. Istilah ini mendefinisikan bagaimana kemampuan teknis-komputer digunakan untuk tujuan-tujuan politik atau yang dapat digolongkan sebagai aksi pembangkangan civil menggunakan media teknologi (Electronic Civil Disobedience). Melalui disertasi menarik doktoral ilmu politiknya di Harvard, dibawah bimbingan Sidney Verba, Alexandra Samuel mengutip dari Denning (1999) yang mengumpamakan hacktivism sebagai “the marriage of political activism and computer hacking.” Disertasi yang bertujuan untuk mengurai tali pengikat antara dunia hacking dan aktivitas politik itu melihat bagaimana kemajuan teknologi dengan bermunculannya hackers yang memiliki concern terhadap politik sebagai bentuk baru partisipasi politik di era modern. Sementara Graham Meikle sebagaimana dikutip dari Hacking Global Justice mendefinisikan hactivism jauh lebih detail sebagai:
“an engaged politics which seeks solutions in software in the search for a spesific technological fix to a social problem. So it refers to any use of computer technology for political ends, including diverse on-line practices: cross-border: information sharing, action planning and coordination via personal emails: chat rooms and electronic distribution list.”


Hacktivism adalah suatu kepedulian politik aktivis cyber yang dibangun atas kesadaran para pelakunya. Pola gerak para aktivis cyber tersebut selain dilandasi prinsip dasar seorang hacker tentang kebebasan juga pengetahuan dan wawasan mereka mengenai konstalasi politik global. Melalui “The Hacktivismo Declaration” cDc menegaskan “we will study ways and means of circumventing state sponsored censorship of the Internet and will implement technologies to challenge information rights violations.”


THAT STATE-SPONSORED CENSORSHIP OF THE INTERNET IS A SERIOUS

FORM OF ORGANIZED AND SYSTEMATIC VIOLENCE AGAINST CITIZENS, IS

INTENDED TO GENERATE CONFUSION AND XENOPHOBIA, AND IS A

REPREHENSIBLE VIOLATION OF TRUST.

(Hacktivismo and Cult of the Dead Cow 2001)

Hackers’ Convictions dan Kontroversinya

Sebelum publik jauh menterjemahkan hacktivism dalam prakteknya, penting untuk kembali kepada pemahaman dasar tentang aktivitas hackers dan prinsip-prinsip yang mereka yakini, mempertimbangkan arus informasi yang sampai kepada kalangan publik tidak selamanya dapat dibenarkan. Ada satu hal yang menggelitik ketika dalam sebuah wawancara online dengan Al-Jazeerah, seorang professor Jurnalistik di Mesir menyebut hacker sebagai ‘a semi-criminal.’ Pandangan seperti inilah yang umum sampai ke telinga masyarakat. Padahal sesungguhnya hacker adalah hacker, seseorang yang amat memahami komputer dan jauh mengeksplorasi pengetahun dan keahliannya untuk menemukan solusi bagi masalah-masalah teknis. Mereka dapat menjadi kriminal jika melakukan aksi-aksi kriminal, sama halnya dengan professor atau dokter yang juga dapat menjadi kriminal jika melakukan aksi-aksi kriminal. Satu prinsip penting hackers dalam aktivitas-aktivitas mereka adalah bahwa mereka meyakini tentang peran krusial sebagai promotor kebebasan informasi melalui dunia cyber. Peran ini lah yang kadang menjerumuskan hackers kedalam aksi kriminal sebagaimana dalam aktivitas hacktivism yang dapat digolongkan atas legal dan illegal.

Legal atau illegalnya aksi hacking komputer memang masih sebuah isu bergerak dalam dunia maya dan real, dimana upaya mengkodifikasi hukum-hukum cyber masih terus menuai kontroversi ketika bersentuhan dengan prinsip kebebasan informasi dan berekspresi. Namun demikian dalam pandangan dasarnya aksi-aksi hacktivismberupa site defacement, Denial of Service (DoS), virtual sabotage sampai political cracker berupa perusakan website misalnya digolongkan illegal karena sifatnya yang merusak dan merugikan korban. Sementara virtual sit-ins digolongkan aksi legal yang lebih bersifat persuasif dengan melibatkan pengguna-pengguna internet secara global sebagai bentuk kesadaran pribadi. Aksi virtual sit-ins dianggap merefleksikan prinsip demokrasi dalam dunia maya, dimana para pengguna internet diundang untuk turut mendukung satu aksi hacktivism seperti melakukan vooting politik.

Ide-ide dasar aktivitas hacktivism sesungguhnya adalah tentang kebebasan berekspresi, memperoleh informasi, memperjuangkan hak asasi manusia (HAM), hingga mempromosikan satu pandangan politik individu atau kelompok. Bagi hacktivist, setiap aksi yang mereka lakukan dilandasi oleh prinsip-prinsip kebebasan yang mereka yakini sebagaimana Steven Levy dalam bukunya Hackers (1984): informasi harus bebas, menolak otoritas dan mempromosikan prinsip distribusi. Dalam the Concience of Hackers, the Mentor yang dikenal sebagai ‘bapak hacker’ sudah terlebih dahulu mempromosikan pembelaan atas aktivitas hacker dan tuduhan kriminalitas. Manifesto yang dicetuskan tersebut sangat bernuansa pemberontakan terhadap kenyataan dunia modern.

“….tapi bagi kalian kami penjahat. Kami adalah penjahat, sedangkan kalianlah yang membuat bom nuklir, mengobarkan peperangan, membunuh, berbuat curang, berbohong, dan berusaha membuat kami percaya bahwa itu semua demi kebaikan kami. Ya aku adalah penjahat. Kejahatanku adalah keingintahuanku. Kejahatanku adalah menjadi lebih pintar dari kalian, sebuah dosa yang tidak akan bisa kalian ampuni… Kau bisa menghentikan satu, tapi kau tak akan bisa menghentikan semuanya....”

Sementara manifesto of hackers versi Mckenzie Wark menekankan “whatever code we hack, we create the possibility of new things entering the world.” Aktivitas hacking memang secara umum melahirkan trobosan-trobosan baru dalam dunia komputer dan internet, namun bagi sebagian kalangan kondisi tersebut mengacu kepada apa yang disebut ‘kebablasan teknologi.’ Dengan menggunakan pendekatan filsafat misalnya, “A Question about Technology” sebuah literatur paling populer dalam memahami kemajuan teknologi dengan pendekatan filsafat. Dalam buku yang sering menjadi referensi tersebut, Heiddeger sang filsuf abad modern melihat kemajuan teknologi sebagai sebuah ‘sinyal’ yang menghancurkan batas-batas kemanusiaan atau dalam istilah Borgmann ‘komputer sebagai produk hyperintelligen.’ Namun demikian persoalan apakah aktivitas komputer dan penggunanya sudah melampaui batas-batas moral-kemanusian sesungguhnya adalah sesuatu yang begitu abstrak untuk dijelaskan ketika mereka bersentuhan dengan politik, sama halnya dengan politik itu sendiri.

Ted Julian dari Yankee Group menilai perkembangan hacktivism melalui sepenggal kalimatnya "when we look back years from now we'll see this as a tipping point in 'hactivism' going from largely a theoretical threat to something that's more a day-to-day issue." Sementara jika aksi-aksi aktivis cyber bagi beberapa kalangan dinilai sebagai bentuk aksi terrorisme, Conway berargumentasi “hacktivists, although they use the Internet as a site for political action, are not cyberterrorists either. They view themselves as heirs to those who employ the tactics of trespass and blockade in the realm of real-world protest. They are, for the most part, engaged in disruption not destruction.

Wikileaks dan Keyakinan Hacktivists

Marshall McLuhan pernah mengungkapkan sebagaimana dikutip Klein "World War III would be a guerilla information war with no division between civilian and military participation.” Ungkapan tersebut seolah menjadi kenyataan menutup tahun 2010 ketika fenomena wikileaks akhirnya mencuat ke permukaan dengan keterlibatan ahli IT militer AS pratu Bradley Manning. Apa yang menjadi alasan Manning terkait aksinya mensuplai dokumen-dokumen rahasia AS kepada wikileaks sesungguhnya adalah apa yang diyakini kaum hackers. Ia mengakui perbuatannya dilandasi sebuah keyakinan bahwa suatu data terkait publik luas adalah milik umum dan karenanya informasi harus bebas diperoleh oleh publik.

Untuk tujuan memberikan informasi kepada publik itulah wikileaks didirikan tahun 2006. Setelah empat tahun wikileaks akhirnya menempati headline utama nyaris disetiap media international, bahkan beberapa dari mereka menggolongkan pemberitaan wikileaks sebagai isu terpopuler sepanjang 2010. Popularitas tersebut selain terkait dipublikasikannya ratusan dokumen rahasia diplomasi AS mengikuti sukses sang pendiri Julian Assange yang berhasil menyabet penghargaan Oslo Freedom. Sosok misterius yang bagi pendukungnya diumpamakan seperti ‘malaikat’ atau ‘God Messanger’ ini harus diakui memang berpendirian kuat dan berani mengambil resiko yang membahayakan dirinya terkait kerja-kerja wikileaks. Kiranya pendirian sang founder yang juga hacker-jurnalis tersebut terefleksi dari sebuah keyakinan sebagaimana ia menulis dalam blog pribadinya:

“A man in chains knows he should have acted sooner for his ability to influence the actions of the state is near its end. To deal with powerful conspiratorial actions we must think ahead and attack the process that leads to them since the actions themselves can not be dealt with.
Sementara kelompok hackers pendukung wikileaks menyatakan dukungan mereka sebagaimana mereka meyakini prinsip kebebasan.
"We're against corporations and government interfering on the internet," Coldblood added. "We believe it should be open and free for everyone. Governments shouldn't try to censor because they don't agree with it. Anonymous is supporting WikiLeaks not because we agree or disagree with the data that is being sent out, but we disagree with any from of censorship on the internet. If we let WikiLeaks fall without a fight then governments will think they can just take down any sites they wish or disagree with."

Para pelaku hacktivism menyatakan bahwa dalam berkontribusi terhadap dunia, maka yang mereka lakukan adalah melakukan apa yang mereka bisa, menggunakan keterampilan yang mereka punya. Suatu aktivitas yang semakin mengkrucut memunculkan istilah-istilah seperti ‘hacking global justice’ dan ‘human right hacking’, hingga ‘high-tech politics’ ini memperlihatkan suatu fenomena bagaimana aktivitas hacking semakin mewarnai konstalasi politik global dan memberikan suatu wajah baru tentang keterlibatan publik dan dunia modern. Kiranya apa yang menjadi isi kepala kaum hacktivist dapat terefleksikan melalui kalimat berikut:

“Ketika pemerintah-pemerintah di dunia memilih cara perang, berlomba-lomba membangun kekuatan nuklir, dan menciptakan pembohongan publik dengan dalih memberikan damai pada bumi, maka setiap hacker pun berhak memilih cara hacking dengan dalih memberikan damai pada bumi.”

Kontribusi Politik Global

Di era modern sebagaimana Naomi Klein ungkapkan, ‘hacking computer’ menjadi ‘new tool’ dalam dunia politik. Kenyataan inilah yang kemudian berujung kepada apa yang disebut ‘partisipasi politik’ dalam disiplin ilmu politik. Klein menulis “imagine if computer hackers, the daredevils of the networked world, suddenly became principled political activists.. if they had a mission besides breaking and entering; if they had more to prove than that they are smarter than whoever designed your computer system, if their targets were selected as part of well organized, thoroughly researched, international human rights campaigns” sebagai kalimat pembuka artikelnya.Klein bisa jadi mengajak publik untuk memulai dengan berimajinasi, merefleksi ungkapan sang filosofi yang juga bapak ekonomi Adam Smith “the greater our imagination, the wider our scope for acting for placing ourselves within a perceived order” bahwa imajinasi tersebut menjadi nyata dan memberikan satu tatanan baru dalam konstalasi politik global, ‘a new order.’

Kenyataan hari ini dikaitkan dengan kasus wikileaks memperlihatkan ajakan berimajinasi Klein tersebut menempatkan manusia pada posisi yang semakin mapan dalam ruang-ruang politik. Membayangkan bagaimana mereka yang mampu menembus batas-batas dalam ruang cyber dapat memberikan perintah ‘jump’ (lompat) ketika menemukan hambatan, mempreteli ratusan bahkan ribuan kode yang menyusun satu perangkat lunak komputer, menyebar ‘pintu belakang’ dan memasuki area-area yang belum pernah tersentuh dalam dunia maya, mungkin terdengar sudah biasa. Namun ketika kemampuan tersebut didedikasikan untuk membuka takbir konspirasi kotor negara-negara haus kekuasaan, mendikte kebijakan-kebijakan negara yang mendeskreditkan komunitas-komunitas minoritas, mengebiri raksasa-raksasa kapitalis dan korporasi global yang menghambat pembangunan ekonomi negara dunia ketiga, memperomosikan prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan dan HAM, sesungguhnya hacker yang melibatkan dirinya dalam konstalasi politik adalah ‘A Man behind the Codes’ yang ditakuti para penguasa. 

Kontroversi wikileaks sesungguhnya mendorong dunia hari ini menjadi semakin hidup, misalnya dengan semakin bergairahnya jurnalisme-investigasi, sebagaimana ia berkerja secara professional dengan media-media berkelas internasional, mulai dari the Guardian (UK), La Monde (Perancis), Der Spiegel (Jerman), dan The New York Times (USA). Hubungan tersebut bak ‘simbiosis mutualisme’ dalam nafas jurnalisme investigasi, dimana media pers melakukan analisis jurnalisme investigasinya dari data-data akurat yang diperoleh dari sumber-sumbernya langsung. Sementara itu memperhatikan arus komunikasi perdebatan dikalangan masyarakat dunia, jelas terlihat semakin aktifnya publik dalam merespon konstalasi politik global yang ditandai dengan semaraknya comment-comment berkualitas terkait wikileaks yang terpublikasi di berbagai media, blog pribadi sampai organisasi. Tidak hanya menyoroti wikileaks, Assange dan kerja-kerja mereka, dalam komunikasi aktif lintas maya tersebut juga terdapat begitu banyak refleksi-refleksi individu yang menilai pemerintah dan negaranya, para pengguna internet yang menginisialkan dirinya ‘young american’ misalnya. Selain itu munculnya satu suatu kenyataan bahwa pemerintah-pemerintah dunia didorong untuk mengoreksi diri baik dalam hal perbaikan sistem keamanan komputer, memperbaiki etika diplomasi sampai isu ‘open government’ membuat suatu negara menengok kembali kebijakan-kebijakan negara serta strategi dan taktik yang dipilih untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Terakhir hal yang paling fundamental adalah menterjemahkan kembali makna ‘kebebasan’ yang berujung kepada mentelaah lebih dalam prinsip-prinsip ‘demokrasi.’ Muncul ratusan debat terkait prinsip kebebasan informasi dan HAM, cyber-terrorist, serta demokrasi barat yang dianggap naif. Secara garis besar perdebatan-perdebatan tersebut menuntut masyarakat dunia untuk berfikir dewasa, satu kecendrungan bahwa dunia hari ini menuju kepada apa yang disebut ‘pendewasaan global.’

Partisipasi Politik Era Modern

Keck dan Sikkink dalam Activists Beyond Borders, sebuah riset tentang the rise of transnational networks of activists memperlihatkan dalam temuan mereka: “advocacy networks are helping to transform the practice of national sovereignty and an important part of an explanation for changes in world politics. These networks try not only to influence policy outcomes, but to transform the terms and nature of the debate.” Temuan riset ini memperlihatkan bahwa aktivitas-aktivitas lintas negara berupa jejaring luas seperti yang dirakit melalui internet mempengaruhi proses kebijakan serta mentranformasikan gagasan-gagasan tentang politik global hari ini. Kerja hacktivist melalui aktivitas hacking-politik dalam perkembangannya telah memberi suatu bentuk tersendiri terhadap konstalasi politik global.

Dengan demikian merefleksi wikileaks sesungguhnya adalah melihat suatu kenyataan bahwa koneksi global yang melibatkan para aktivis cyber telah memberikan wajah baru bagi politik dunia hari ini dan yang akan datang. Karenanya dalam frame ilmu politik, fenomena wikileaks ataupun aksi hacktivism-hacktivism lainnya adalah satu bentuk keterlibatan politik masyarakat civil (partisipasi politik) di dunia modern dalam konstalasi politik global. Dengan demikian hacktivism, keberadaan whistleblower sesungguhnya hanyalah sebagian dari ‘tools’ yang dianggap dapat mencapai tujuan-tujuan politik dengan melibatkan kalangan publik, sebagaimana juga pernah diungkapkan Klein. Disiplin ilmu politik perlu menyambut baik kecendrungan baru dalam teori-teori normatifnya, bahwa secara tidak langsung kemunculan wikileaks semakin mendorong partisipasi politik masyarakat dunia. Bukan tidak mungkin partisipasi politik dalam ruang maya tersebut dapat mendorong terwujudnya cita-cita publik, sebuah ‘open government’ mendorong kepada ‘open diplomacy’ dan berujung kepada ‘open society.’

Wikileaks bisa saja dimusnahkan hari ini juga dan Julian Assange dikirim ke Guantanamo dengan mudah, tapi ‘jiwa’ yang mengakar dalam diri para aktivis cyber dapat memunculkan ribuan organisasi whistleblower yang sama dan melahirkan jutaan Julian Assange-Julian Assange yang lain. Yang masyarakat dunia perlu lakukan hari ini adalah terus belajar tentang bagaimana berkontribusi dengan keterampilan yang mereka punya, bahwa setiap individu sesungguhnya bisa merubah dunia, hack the planet dan bebaskan dunia ini. 

Refleksi Penutup

Dialog anak tentang figur pahlawan mereka….

Anak 1:
Pahlawanku sungguh bersayap, ia terbang dari langit yang tinggi kemudian menginjakkan kakinya dibumi, membasmi musuh-musuh yang ingin menguasai dunia dan berambisi melenyapkan umat manusia. Ia adalah superman, dan siapakah yang lebih hebat darinya?

Anak 2:
Pahlawanku tidak memerlukan sayap untuk melompat bebas setinggi-tingginya di udara. Ia memiliki senjata ampuh, berupa jaring-jaring mematikan yang dengan sekilas keluar dari ujung-ujung jarinya, dan dalam sekejap dapat melumpuhkan musuh dan membuat mereka tak berdaya. Ia adalah spiderman, dan siapakah yang lebih hebat darinya?

Anak 3:
Pahlawanku memang tidak bersayap seperti Superman, namun ketika ia berada diketinggian, ia bersayap pengetahuan yang dapat membawa mereka terbang bebas menjelajahi dunia cyber demi menemukan musuh-musuh umat manusia, bahkan yang bersembunyi dibalik konspirasi sekalipun. Jari-jarinya pun tak mungkin mengeluarkan jaring-jaring mematikan seperti Spiderman, namun ketika mereka berada diketinggian, jari-jari tersebut sangat terampil, bergerak lincah memberikan perintah kepada benda supermaya demi memberikan kedamaian dimuka bumi. Mereka berada diketinggian ketika mereka sudah mampu mengendalikan ego, memahami etika dan memiliki sense of humanity yang tinggi.

Anak 1 dan2:
Siapakah pahlawanmu?
Anak 3:
Codeman…

*Penulis adalah lulusan Ilmu Politik Universitas Nasional, saat ini mahasiswa M.A Program, Department of International Relations Eastern Mediterranean University (TRNC/Turkey), concern terhadap isu-isu politik global dan demokrasi sebagaimana aktivitasnya dalam PSIK-Indonesia dibawah pimpinan Yudi Latif.

0 komentar:

Posting Komentar